Hari itu terlihat begitu
sangat menyenangkan, dan sangat sempurna untuk menata kehidupan, hari baru,
langkah baru pula. Tapi tentu saja tak ada yang tahu alur dan scenario
kehidupan ini, karna dihari yang cerah ini muncul lagi kata day brightness for silent soul.
Aroma sarkatisme terasa lagi menggelayuti hari yang seharusnya
terbalut kebijaksanaan, entah apa yang ada dalam pola fikirnya, semuanya seakan
tertutup dan dibutakan oleh pola fikir yang tak rasioanal dan jauh dari
kebijaksanaan.
Pola fikirnya telah diracuni
oleh mata yang terkadang menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi, lagi, lagi
dan lagi telunjuknya mengarah ke hidungku, menunjukku seolah aku menjadi orang
yang salah. Alangkah tak bijaksananya menghakimi diri ini, sementara diri ini
merasa tak pernah keluar dari jalur atau koridor yang salah. Kebijaksaan itu
seakan tak melekat lagi dengan jiwanya.
Ku hanya bisa duduk terdiam
menapaki alur kontra flow seperti ini, entah apa lagi yang mesti diperbuat
karna semua tak pernah ada afresiasi, yang ada hanyalah diterjemahkan dalam
konteks negative pola fikirnya.
Masih teringat dan terngiang
ucap kata yang keluar dari lidah tak bertulang itu
“Apa sih yang kamu mau?” dia
bertanya padaku dengan nada yang keras dan temperamental.
“Maksudnya?” ku balik bertanya dengan rasa penasaran
“Katanya tak pernah komunikasi
sama mantan-mantan pacar kamu, tapi nyatanya di FB, kamu berteman dengan
mantanmu itu !!!”. jawab dia dengan sinisnya dan mengatakan salahku itu.
Tanpa berselang lama aku
menjelaskan ini dan itu, tapi tetap saja hatinya telah dibutakan oleh kesalah
pahaman yang sempurna.
“Iya memang di FB ada mantan kekasihku, tapi itu tak berarti bahwa aku
suka komunikasi sama dia (mantanku itu), apalagi in-out sms, tak pernah kulakukan
sama sekali, gini-gini juga aku masih bisa menghargai perasaan orang lain. Jangan
kamu berfikir sebatas penglihatanmu saja, wajarkan aku punya teman !!”. Ucapku
menjelaskan padanya dan sedikit rasa kesal.
Tapi rupanya penjelasan dari A
sampe Z yang ku ucapkan, ternyata tak menyentuh sisi natural kemanusian, tetap
saja mulutnya berkomat-kamit ini dan
itu dan menghakimiku. Kebijaksanaannya tak terlihat sama sekali, yang ada
hanyalahy api amarah yang seolah ingin membakarku hidup-hidup.
Sering sekali dia seperti ini,
marah-marah tak jelas. Bahkan masalah “Like” di facebook pernah jadi masalah,
akupun merasa jenuh tingkat tinggi dengan kondisi seperti ini, bertengkar lagi,
terus bertengkar, lagi dan lagi bertengkar.
Sering ku mengalah, sering
sekali, walaupun akhirnya ku tak dapat menyembunyikan rasa kecewaku hingga pada
akhirnya terbawa arus emosional itu. Hubungan ini serasa tak sempurna lagi seperti
dulu, kini yang ada hanyalah tumpahan tinta hitam di atas kertas putih.
Gak tau sampai kapan ku harus
menahan rasa kecewa, walaupun masih ada sisa cinta biarkanlah berakhir sampai
disini, karna semuanya terasa sia-sia bila jalan fikiran kita tak pernah
seiring sejalan.
Ku ingin mengatakan, bahwa
kebahagiaan itu bukanlah kesenangan belaka, kebahagiaan itu adalah ketenangan
dan rasa nyaman, jika hanya sebuah kesenangan,itu hanya sementara saja, beda
halnya dengan rasa tenang dan nyaman akan selayaknya menjadi agungnya sebuah
cinta.
Akhirnya sampai pada rasa
kecewa dan titik jenuh, ku ingin sendiri, ingin sendiri, biarkanlah ku menapaki
alur ini sendiri, karna ku tak ingin membiarkan hati yang sehat ini menjadi
sakit karna ulahmu,. Biarkanlah ku sendiri menikmati ketenangan hidupku tanpa
ada bayang-bayang posesive-mu yang tak boleh ini dan itu.