Menghadap kiblat menuju
peraduan ilahiyah, mengheningkan diri ditengah malam gelap di rumah Allah Swt adalah kenikmatan
yang tiada terkira. Sunyi senyap sepi dalam suasana kontemplasi diri, mencoba
memisahkan diri sejenak dari keduniawian.
Malam nisfu sya’ban yang
mengagungkan, dimana para malaikat, bahkan lima ratus ribu malaikat diturunkan
khusus bagi orangg yang melaksanakan sujud beribadah 100 rakaat berturut-turut,
tiadalah arti tiga jam yang dihabiskan untuk menghadap ilahi, bila dibandingkan
dengan waktu luang keduniawian yang sering dihabiskan dengan hura-hura mencari
kebahagiaan jasadiyah.
Penutup amaliyah disajikan
dengan perjamuan ibadah pada sang
khaliq, sakaligus pula membuka lembaran baru amaliyah menuju hari-hari yang
akan dihabiskan hingga ajal menjemput diri.
Tiadalah tangis yang berharga,
selain tangis meratapi dosa dan kesalahan yang terkadang mengesampingkan Allah Swt.
Doa-doa yang tercurah pada Ilahi terasa menjadi pemanis segala keresahan dan
kekakuan yang ada.
Semua dicurahkan pada Allah
Swt yang maha baik, bagaimana tidak baiknya Allah yang telah membarikan apa
yang kita butuhkan, nafas yang terhirup, darah yang mengalir takkan pernah
berfungsi tanpa adanya Allah Swt yang menggerakannya, Selayaknya disyukuri.
Disaat orang-orang tertidur
lelap dengan segala mimpinya, sengaja ku masih terjaga untuk menggelar sajadah
panjang. Ibadah bukanlah semata-mata sebagai kewajiban saja, lebih dari itu adalah
sebagai rasa syukur dan kecintaan terhadap sang Khaliq. “Bukankan Allah Swt itu maha dekat ?”, dekat dengan orang yang
sengaja mengahabiskan malam bersama-Nya. “Bukankan
Allah itu menjanjikan kekayaan spiritual bagi orang yang bersyukur?”.
Segala puji bagi Allah yang
telah menciptakan alam raya dengan segala isinya, sebagai pertanda
kekuasaan-Nya dan sebagai penguat keimanan bagi orang-orang yang berfikir. Otak
ini tak akan berfungsi tanpa ada factor pendorong dibelakangnya, factor pendorong
itu tiada lain adalah akal yang dipersembahkan Allah Swt pada manusia supaya
bisa berfikir.
Jika kita menelisik mengenai
otak dan akal, otak bersifat biologis sementara akal bersifat spiritual, makanya
tidaklah salah didalam Alquran yang mulia bahwa agama diperuntukan bagi
orang-orang yang berfikir.
Kekayaan spiritual didapatkan
dari kontemplasi diri, agama menyebutnya sebagai tadabur kemudian tasyakur.
Tadabur; menelisik segala ciptaan-Nya melalui otak kemudian dilanjutkan dengan
tasyakur yang konotasinya adalah ibadah.
Kemantapan hati dalam suasana
hening menghadap kiblat bersujud melahirkan kekayaan spiritual yang agung,
mereguk kenikmatan ruhiyah, kenikmatan diatas segala kenikmatan.