Hari itu fajar subuh telah membuka
pagi dibarengi lantunan adzan dan iqomah memanggil orang beriman untuk
menyerahkan dan menyegerakan diri beribadah shalat subuh. Tak selang beberapa
lama, kemudian matahari-pun ikut berpartisipasi menyemarakan suasana ruang menjadi
cerah, terasa sinarnya begitu sangat menyilaukan mata.
Disaat hiruk-pikuk orang ditengah kota
metropolis yang menghabiskan weekend masing-masing, tak berbanding lurus
denganku dan dengan segala introvertku,
seperti biasa disela-sela ruang kosong yang tersisa, kuhabiskan untuk membaca
buku walaupun hanya beberapa halaman saja, bagiku tak begitu penting berapa banyak
halaman yang dibaca, yang terpenting otakku tak beku, karena telah semestinya
otak ini diberi makanan berupa ilmu dan hikmah. Tak selayaknya kita
memarjinalkan otak diruang kebekuan tak produktif.
Hari ini, Ku tak tau apa yg hendak
kutuliskan sekarang. Karena menurutku, ini adalah hari yang menyenangkan karena
hari ini adalah weekend, saatnya merebahkan sejenak dalam ruang relaksasi dari
segala kepenatan yang memenuhi
hari-hariku. Ya hari ini memang sangat menyenangkan bagiku, tapi mungkin berbeda
dengan beberapa orang disekelilingku atau sahabatku yang sedang mengalami “kontra flow” kondisi kontradiktif tak
menyenangkan, apalagi yang terkait langsung dengan hal sensitif seperti cinta
dan pemenuhan perasaan.
Keindahan cinta telah mengantarkannya
(sahabatku) dalam salah satu project
sunnah Nabi yang telah digariskankan Allah Swt yaitu pernikahan,”nikah itu sunnahku. Barang siapa yang
mencintai agamaku, maka hendaklah mengikuti sunnahku” (Alhadits). Alquran
dalam surat Ar-rum ayat 21 menegaskan bahwa pernikahan adalah jalan yang telah
digariskan Allah Swt pada manusia supaya cenderung dan
merasa tentram dengan pasangannya, penuh rasa kasih serta sayang.
Bahkan Sang Hujjatul Islam, Imam Al-ghazali dalam Ihya’
‘Ulumuddin menyatakan arti cinta/mahabbah dan kebencian, menurutnya “cinta adalah kecenderungan jiwa padanya
karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan, setiap yang bertambah
kelezatannya, menambahkan kecintaannya, kelezatan mata dalam melihat, kelezatan
telinga dalam mendengar. Setiap indra memilki kesesuaian yang menjadikannya
merasakan kelezatan. Sementara kebencian adalah kebalikannya, yaitu
ketidaksukaan jiwa karena keberadaannya sebagai sesuatu yang tidak cocok
baginya”.
Merujuk kembali ke cerita awal tadi, ku
mencoba merecovery dan mengingat-ingatnya kembali, pagi itu jarum jam
menunjukan pukul 08.05 WIB, ku duduk di depan meja belajar dengan sebuah laptop
yang sengaja terkoneksi ke internet, karna pagi itu kuhendak memposting tulisan
ke blog yang berjudul tentang sebuahcita-cita.
Sambil blogging, tak lupa aku-pun
membuka account facebook. Tak lama berselang ada pemberitahuan di account facebookku, oh ternyata ada kiriman pesan
dari sahabat yang telah kukenal sejak lama, hubungan persahabatan kami begitu
baik dan intens walaupun tak pernah ketemu karna kesibukan masing-masing.
“Kalo
Ari, bête atau sepi wajar da belum punya istri. Tapi kalo aku, bête atau sepi
tak wajar!! karena aku telah bersuami” itulah
pesannya di account facebookku.
Ku termenung sejenak, tak terasa ku mengerutkan
dahi karena ku merasa bingung, ada apa dibalik pesan itu, maksud apakah yang
hendak disampaikan dari kiriman pesannya itu. Tanpa berfikir panjang aku-pun balik
bertanya.
“Kenapa,
ada apa ???” kubalik bertanya dengan penasaran dan penuh rasa ingin tahu.
Setelah ku bertanya, mulailah dia
menjawab dan menceritakan segalanya, segala yang ia rasakan. Mulai dari rasa
kesal, marah, bête dan sebagainya. Kuperhatikan dengan seksama semua
kata-katanya, sama seksamanya ketika aku mendengarkan presentasi dari relationship manager.
Setelah ku perhatikan dengan seksama
semua kata-katanya (sahabatku), semuanya terasa begitu sangat ironis,
fatamorgana, aneh, tak seindah realita. Bagaimana tidak ironis !!!, coba
bayangkan, disaat seorang istri yang hendak melahirkan diacuhkan begitu saja, sang suami malah asik in-out sms dengan perempuan lain tanpa memperdulikan keadaan
istrinya yang berjuang antara hidup dan mati melahirkan anak yang nota bene darah dagingnya sendiri. Masya Allah !!.
“Pas
aku mau ngelahirin anak ke dua, dia ketahuan suka sms-an dengan wanita itu, bahkan
ketemuan. Aku ngelahirin dalam keadaan stress, makanya pendarahan!!. Aku kecewa
ke suami, ditanya baik-baik jawabnya selalu bohong. Aku nggak kuat dibohongin terus,
rasanya udah hilang kepercayaan ini ke dia. Selama ini ku bertahan karna anak,
anaklah yang membuatku bertahan dalam pernikahan ini” ucapnya
dengan deraian air mata lirih penuh kesedihan dan rasa kecewa.
Kemudian ia-pun melanjutkan ceritanya,
“Mungkin
ini udah digariskan Allah dalam kehidupanku. Kalo untuk disesali, ku nggak
nyesel karena dari pernikahan itu ku punya anak yang selalu bikin aku kuat bertahan”
ucapnya
melanjutkan cerita, dengan nada fatalistik dan berusaha menguatkan jiwanya
sendiri.
Seorang sahabat perempuan yang membangun
keutuhan cinta telah sengaja dimarjinalkan dalam kondisi hipokrit oleh pasangannya sendiri
yang telah mengikatkan janji suci illahiyah, sakral dalam perayaan akad suci
yang khidmat.
Mendengar semua ceritanya, kian terasa
begitu sangat memilukan sisi natural kemanusiaan, ku bisa merasakan betapa
teririsnya hati yang sehat dengan telah sengaja dipaksa ditukarkan dengan sebentuk
hati yang sakit, Seharusnya itu tak terjadi bagi orang-orang yang memang
memiliki cinta atau bagi orang yang mengaku memilki cinta.
Bukanlah hanya sekedar memiliki cinta
saja, karena cinta takkan pernah bersubstansi tanpa kebijaksanaan, cinta dan
kebijaksanaan layaknya dua sisi mata uang, satu sama lain tak bisa dipisahkan,
karena cinta yang diberlakukan tanpa kebijaksanaan takkan pernah menemukan arti
cinta yg realistis, hanya sekedar status belaka yang melekat bahwa dia milik
ini, mlik itu, pcar si ini, pacar si itu, suami si ini-itu, istri si ini-itu
dan sebagainya.
Tentu saja bukan hanya sekedar identitas;
berganti status yang distempel
bukti hitam diatas putih saja, tapi lebih dari sekadar itu ada makna terdalam
bahwa semua hati, jiwa dan raga telah berucap janji setia untuk pasangan
pilihan hati. Janji setia yang ternoda dihanyutkan dalam buayan kasih hati lain
merupakan keadaan dimana kebijaksanaan tak menyertai cinta itu sendiri.
Ada kalanya orang yang lupa atau
bahkan pura-pura lupa akan identitas yang melekat pada diri sendiri, identitas itu
tiada lain adalah sebuah status; kemantapan hati, hati seorang suami dan hati
seorang istri. Dua hati disatukan dalam janji suci akad yang kuat mitsaqan
ghalidzan determinasinya adalah pernikahan. Pernikahan merupakan penyatuan
dua hati untuk saling merasakan satu sama lain, satu rasa, satu asa, satu
cinta. Tapi dari sikaf atau prilaku terkuak sebuah misteri keghaiban hati bahwa
rasa itu hendak dikikis habis, inilah yang diberlakukan oleh orang-orang yang pura-pura
lupa akan identitas statusnya sendiri.
Tanpa bermaksud untuk ikut campur dan
prajudise (buruk sangka), telah selayaknya memperlakukan istri sebaik mungkin, jika
ingin memberi, berilah yang terbaik dan terindah. “kemulian seorang laki-laki tergantung sejauh mana ia memuliakan istri”
(Alhadits). Istri bukanlah proferti yang bisa diberdayakan ketika dibutuhkan
dan diacuhkan bahkan dibuang hatinya begitu saja dan digantikan dengan hati
lain tanpa tedeng aling-aling, selayaknya diperlakukan sebagai manusia seutuhnya
yang memiliki hati, memiliki hak dan kewajiban, hak istri adalah mendapat
kebahagiaan lahir bathin, begitu pula sebaliknya.
Untuk sahabatku, __tanpa bermaksud
untuk menceramahi, sekali lagi tanpa bermaksud untuk menceramahi, bahwa doktrin
agama mengajarkan keimanan itu ada dua bagian, satu bagian adalah syukur,
sebagian lain adalah sabar. Kesabaran dalam menghadapi ujian/cobaan, bahwasannya
di dalam kitab suci Alquran lebih banyak ayat-ayat yang berbicara tentang sabar
dari pada syukur, sabar tendensinya lebih ke hal-hal yang tak menyenangkan,
sementara syukur konotasinya lebih ke hal yang menyenangkan. __Kalo boleh aku
mengatakan, Tak pernah ada deadline dengan “sabar”, Sabar merupakan jalan tuhan
yang terkadang dengan sabar mampu
merobek ruang hati, sebagai orang yang tak selevel dengan Nabi, alangkah tak
mampu hati ini untuk melangkah dan meraih sabar yang telah disuratkan Allah Swt.
Astagpirullah.
Tapi apapun itu dan terlepas dari
semua, ini bisa dijadikan pencerahan, bahwa Rosulullah Saw bersabda: “as-shobru kanzum min kunuuzil jannati (sabar
adalah salah satu dari perbendaharaan-perbendaharaan syurga)”. Jadikanlah
semua problematika yang ada sebagai ujian yang dapat meninggikan kualitas diri
dan keimanan.
Wallohu
‘Alam Bishawab