Seindah
tutur kata berucap, semanis madu retorika tapi tak bernyawa dari estetika.
Komitmen yang dibangun hanya sebuah bayangan semu selalu mengikuti tapi tak
pernah tersentuh, keraguan itu telah berubah menjadi sebuah kenyakinan.
Katup
kesadaran yang sudah tertutup tak mampu memasukan kebijaksanaan dalam pola
fikir, ya itulah pola fikir yang terkontaminasi oleh aroma hipokritas. Ia hanya menjadi sebuah lilin yang hanya bisa berucap KEEP FIGHT NEVER GIVE UP tapi dirinya
sendiri terbakar habis, hanya ucapan semu belaka.
Analogi
empat lilinpun hanya sebuah angan-angan yang tak berujung, sekedar “mungkin” dan “jikalau” atau bahkan “seandainya”
saja. Perjuangan ini hanya sekedar menjadi debu yang tak berguna menyesakan
nafas. Tapi ku takkan pernah menyesali semua perjuanganku, karena inilah caraku
untuk membuktikannya.
Ku tak
pernah segila ini, untuk menjadi sosok yang memperjuangkan dan mempertahankan
sebuah angan, tapi apa yang kuterima adalah termarjinalkan dalam kondisi tak
utuh, sekiranya tak ada ruang untuk
berangan, kenapa harus berkomitmen ???
Tak perlu
beretorika tentang ajaran reinkarnasi
atau de javu, tak usah pula berilmiah dengan mengungkapkan; “dunia ini memiliki gaya gravitasi, dan gaya
gravitasi yang terbesar adalah antara manusia dengan manusia” kalau itu
hanya sekedar memberi penyakit.
Mulailah
berfikir tentang perjalanan yang kutempuh, itu adalah kesaksian bisu tapi
bernyawa dari kebenaran realistis. Inilah caraku dengan bahasa tubuhku tapi
kamu tak cukup cerdas untuk menyimpulkan sisi psikologis bahasa tubuh itu.
Tak layak
berucap apabila bertolak belakang dengan bahasa tubuh yang ku saksikan, alasan filon berucap fokus dan sebagainya, sementara diriku sendiri menolaknya.
Sekiranya ucapan sekedar debu kenapa harus berucap ??? itu
tak berguna sama sekali.