Tempat Berbagi Cerita, Humor, Ilmu Pengetahuan Dan File

GAMBAR, PROFILE, MENU DROP DOWN

Rabu, 05 Juni 2013

NOVEL : KETIKA CINTA TAK TEPAT WAKTU

BAB [1] PERTEMUAN HARI RAYA YANG TERLEWATKAN

Jalur Cianjur-Sukabumi atau orang sering menyebutnya jalur tengah HOS Cokroaminoto merupakan arah menuju ke masjid agung Cianjur. Di masjid yang berdiri megah itulah ia akan menutup ramadhan dan melewatkan malam takbir disana. Jauh dari masjid itu, terlihat Gunung gede pangrango yang berdiri tegak menjadi pemandangan natural yang sering ia lihat ketika menghabiskan waktu dimasjid kebanggaan masyarakat Cianjur itu, karena jarak antara gunung gede pangrango dengan masjid itu tidak kurang dari sepuluh kilometer, sebuah jarak yang lumayan jauh, tapi gunung yang terlihat megah itu seakan dekat dengan matanya karena menjulang tinggi dengan gagahnya memberikan tanda betapa besarnya keagungan sang Maha Pencipta. Warna hijau yang tercipta dari pepohonan menjadi keindahan tersendiri, mata dan fikirannya terbiuskan oleh pesona gunung yang terlihat indah ketika tersinari matahari senja. Entah berapa banyak inspirasi yang terlahir dari gunung tersebut, baik itu dalam bentuk lagu maupun puisi dari para musisi Cianjur. Subhanallah.Suasana senja dibulan ramadhan semakin semarak dengan hadirnya para pengunjung alun-alun yang berjubel bersantai ria menunggu adzan maghrib tiba, diantara mereka terlihat pasangan muda-mudi bercengkrama membuka obrolan, indah berdua saling menatap mesra menghabiskan waktu senja, ada juga yang beratraksi dengan sketboard maupun sepeda BMXnya

Ia terduduk tepat di depan masjid agung itu, ditangannya terselip buku sastra, senja ini matanya terlihat fokus membaca buku karangan Syeikh Jalaluddin Ar-Rumi yang berjudul “Renungan Sufi”, di dalam buku itu terdapat kalimat, cinta itu adalah penyakit, tapi penyakit yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Ia membaca dan menatap penuh penjiwaan kalimat itu, didalaminya kalimat itu berulang-ulang, kemudian ia menutupnya, lalu mengamati buku yang bercover warna putih bergambar karakter kartun dengan ciri khas pakaian Persia itu.

Sebenarnya kalimat yang ada di halaman delapan itu pernah dia baca sebelumnya, tapi kali ini ia membukanya cuma untuk mendalami kalimat “Cinta itu adalah penyakit, tapi penyakit yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit…”.

Kini ia menyandarkan tubuhnya ke tembok, lalu memejamkan mata, sepertinya otak yang ada dikepalanya sedang mencerna hasil bacaannya. Kemudian ia kembali membuka matanya, ia menatap-dalam, entah apa yang ia tatap, tapi rupanya ia masih mencari jawaban dan mendalami kalimat yang diucapkan Syeikh Jalaluddin Ar-Rumi tadi dalam bukunya. Sekarang bibirnya mengulas senyum, “Hmmm masa sih penyakit? Atau mungkin maksudnya seperti perasaan rindu menjadi penyakit yang membuat seseorang melamun mengingat pacarnya !? mmmp..”. Tanyanya pada dirinya sendiri. “…ya bisa jadi seperti itu”. ia mengangguk.

Buku yang sudah selesai dibacanya tiga hari lalu itu memang menyodorkan tentang konsep terdalam dari cinta dan kebencian. Arti terdalam mengenai cinta dan kebencian yang ada dibuku itu, hampir sama dengan konsep yang ada di kitab “Ihya Ulumuddin” karangan sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali tapi redaksi katanya berbeda. “Cinta adalah kecenderungan jiwa padanya karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan, setiap yang bertambah kelezatannya, menambahkan kecintaannya, kelezatan mata dalam melihat, kelezatan telinga dalam mendengar. Setiap indra memiliki kesesuaian yang menjadikannya merasakan kelezatan. Sementara kebencian adalah kebalikannya, yaitu ketidaksukaan jiwa karena keberadaannya sebagai sesuatu yang tidak cocok baginya”.

“Mmmmp… ya konsep cinta emang seperti itu. betul.. betul”. ia kembali menganggukan kepalanya seraya tangannya merapihkan rambut yang sedikit acak-acakan.

Dua setengah jam ia duduk dan membaca sendiri dipelataran depan masjid, Seiring waktu maghrib tiba, ia menyudahi bacaannya tadi, baginya tak begitu penting berapa banyak halaman yang dibaca, yang terpenting otaknya tak beku, karena telah semestinya otak diberi makanan berupa ilmu dan hikmah.

Diluar gerbang utama pintu masjid berjajar para penjaja makanan musiman yang menyajikan berbagai varian makanan yang bermacam-macam dan mengundang selera. Tak ada satupun penjaja makanan yang tidak dikerubungi para pengunjung alun-alun, semua penuh sesak berdesakan memesan ini dan itu. tanpa terkecuali dengan dirinya yang ikut berdesakan memesan es durian untuk ta’zil maghrib, seiring waktu maghrib tiba terdengar deru bedug berbunyi pecahkan kebisingan senja itu, artinya sudah waktunya berbuka puasa.

Ia segera meminum es durian yang dibelinya tadi untuk membatalkan puasanya hari ini. Suara kumandang adzan bersahutan dari masjid yang satu ke masjid yang lain, kumandang kalimat Allahu Akbar menjadi pemersatu umat dalam satu aqidah, terlantun-mendayu selang-seling suara adzan itu memecah suara deru mesin kendaraan yang lalu lalang diperlintasan jalan Cianjur-Sukabumi dan membuyarkan obrolan orang-orang yang sedang berkumpul disebuah taman alun-alun kota Cianjur yang terletak tepat di depan gedung kantor bupati.

Iqomah mulai diperdengarkan sebagai pertanda agung illahiyah mengundang orang-orang beriman untuk melaksanakan shalat magrib berjamaah. Dalam keadaan suci terbasuh air wudhu, ia mengangkat kedua tangannya diiringi gema takbir pelan dari getaran bibirnya, alunan lantunan doa-doa shalat ia lapadzkan penuh khusyuk dan penuh kerendahan hati pada sang Maha Pencipta cinta, air wudhu yang membasahi wajahnya menjadi pelengkap kesucian lahiriyah dan bathiniyah saat berserah diri pada Allah Swt, wajahnya tertunduk merendah malu dihadapan sang Khaliq. Sujud, ruku’ hingga tahhiyat akhir, menjadi ritual aqidah yang mengakar didalam ruh aqidahnya.

Kini tangannya mulai menengadah terbuka, melapadzkan lagu hati berkalam doa, doa yang terucap menjadi curahan sejati, tulus, suci dan murni dalam balutan keyakinan aqidah. Ia memulai doanya itu dengan puji-pujian asmaulhusna mengagungkan dzat yang maha bijaksana, tanpa lupa ia-pun melantunkan doa cinta bersimpul keimanan yang tersampaikan pada Illahi “Ya Allah… Ketika kurindukan seorang kekasih, rindukanlah kepada aku yang rindu cinta sejati-Mu, agar kerinduanku terhadap-Mu semakin menjadi ya Rabb. Ya Allah… Jika aku mencintai seseorang, temukanlah aku dengan orang yang mencintai-Mu, agar bertambah kuat cintaku pada-Mu. Ya Rabb… Ketika ku sedang jatuh cinta, jagalah cinta itu agar tidak melebihi cintaku pada-Mu. Ya Allah… Ketika ku berucap “aku cinta padamu” biarkanlah kukatakan pada hatinya tertaut pada-Mu, Agar aku tidak terjatuh dalam cinta yang bukan karena-Mu, sebagaimana orang bijak berkata “mencintai seseorang bukanlah apa-apa, dicintai seseorang adalah sesuatu. Dicintai seseorang yang kita cintai sangat berarti tapi dicintai oleh sang Pencipta cinta adalah segalanya.” Ia menutup doa dalam perjamuan shalat maghrib bersama Allah dengan lapadz Rabbana aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘aadza-bannaar. In-namaa amruhu idzaa araada syai-an ayyaquulalahuu kun fayakuun. Walhamdu lillaahi rabbil ‘alamin. Amiin…

Sujud syukur tak pernah ia lewatkan setiap selesai shalat lima waktu, bahasa tubuh itu menunjukan tasyakur bi nikmat, baginya keimanan itu tak hanya diucapkan. –adalah rasa syukur melalui sujud syukur sebagai salah satu bentuk realisasi keimanan. Ia menyadari bahwa keimanan tak hanya diucapkan, tiada yang memberi kenikmatan kecuali Allah Swt, ia menyadari bahwa Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Reasoningnya sebagai tanda terimakasih pada Allah atas apa yang ia terima mulai dari setiap tarikan nafas dan peredaran darah hingga rezeki yang ia terima hari ini.

Maghrib ini merupakan maghrib terakhir dibulan ramadhan, itu artinya malam ini gema takbir akan memecah kebisingan kota. Gema takbir membahana diseantero langit Cianjur, khazanah malam takbir yang dirasakan umat muslim sedunia menjadi penanda agung sang maha bijaksana, Allah rabbul izzati. Semua orang larut dalam alunan nada puji-pujian pada Rabbnya. Selang-seling gema takbir tersebut terdengar keras dari masjid ke masjid, termasuk masjid agung Cianjur.

Muda-mudi terlihat lalu-lalang larut dalam keriyuhan suasana malam takbir, sementara itu dijalan raya terdengar gemuruh ribuan motor berpawai menyambut malam agung, bahkan dari kejauhan terlihat ribuan orang terlihat membawa obor sambil melagukan gema takbir, rupanya mereka menyambut malam dengan pawai obor, tabur bedug menderu mengiringi orang-orang yang terbius dalam suasana malam penuh berkah itu.

Suasana malam takbir agung itu menambah khazanah relegius yang berbeda dari sebelumnya, kini orang-orang mulai membangun kesadaran aqidah dan spiritualnya. Allahu ya Rabbi setiap insan merasakan suasana kesenangan saat menyambut hari yang fitri layaknya kertas putih tanpa noda, bersih dari segala kekhilapan atau kesalahan yang telah diperbuat. Bagi sebagian yang lain itu adalah kesedihan karena akan meninggalkan ramadhan tahun ini yang belum tentu bisa bertemu dengan ramadhan berikutnya. Malam nuzulul quran dan lailatul qadar telah terlewati memberi kesempatan bagi orang-orang beriman untuk melarutkan diri dalam perjamuan ibadah bertemu Rabbnya, adalah keutamaan malam seribu bulan dari pada malam yang lain, memiliki nilai dan keutamaan yang luar biasa yang diberikan Allah pada hambanya.

Ia yang sedari tadi berniat menghabiskan malam takbir di mesjid agung itu tak lepas dari rasa syukur melihat ribuan para simpatisan Allah Swt yang mengagungkan-Nya, “subhanallah…”. Ucapnya dalam hati. Tanpa berfikir panjang ia-pun ikut meramaikan suasana malam itu dengan cara ikut melarutkan diri dalam pawai motor yang sedang berlangsung.

Ya dia adalah Rif’at, lengkapnya Rif’at Arif Ridwani, ia adalah anak kedua dari dua orang bersaudara. Dilingkungan keluarganya ia lebih cenderung introvert, dalam kesehariannya ia banyak menghabiskan waktu untuk melarutkan diri di ranah organisasi, baginya itu merupakan upaya untuk membangun karakter dan jiwa leadership. Orang-orang dilingkungannya tidak banyak tahu action pergerakan yang ia lakukan selama ini, aksi-aksi demontrasi yang sering ia lakukan bersama sahabat-sabahatnya dimulai saat ia bergelut dalam dunia kampus, disanalah ia belajar manajemen konflik. Jiwanya merasa terpanggil saat melihat orang yang menangis terdegradasi, bahkan termarjinalkan oleh birokrasi “policy maker” pembuat kebijakan yang menyengsarakan. Ketika teriak-teriak demo, hingga kerongkongan kering dan pita suara hampir putus bahkan tendangan dan pukulan polisi saat demo terjadi chaos, itu jadi lauk-pauk empat sehat lima sempurna saat demontrasi berlangsung chaos. Tapi itu tidak akan menurunkan fighting spiritnya untuk terus fight melawan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan.

Akan tetapi dilingkungan keluarganya, ia tampil menjadi orang yang contra flow 360 derajat, ia tampil tak banyak bicara, suka menyendiri, suka membaca dan merenung. Makanya tidak salah, mereka menyebutnya seorang yang introvert “seseorang yang tidak banyak bicara” memendam masalahnya sendiri dan seolah terasing dari dunianya sendiri“. Pada umumnya memberikan kesan sebagai seorang yang lemah dan letih serta sakitan. Disela-sela ruang kosong yang menyediakan waktu untuknya, ia menghabiskannya untuk berdiam diri dikamar, membaca buku, membaca media online, duduk berjam-jam di depan sebuah netbook atau bahkan nonton acara diskusi di televisi seperti Indonesia lawyers club, economic challenges, apa kabar Indonesia, berita dan ovj, hanya seputar itu saja ia habiskan waktu dikala sendiri.

Sementara itu, referensi bacaannya mulai dari psikologi, politik, sejarah islam dan sebagainya, tapi yang paling ia gemari adalah buku-buku novel dan sastra, ia memiliki novel karangan Adisti Sari Nursovia yang berjudul Bunga-Bunga Nada Cinta dan novel best seller karangan Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih lengkap. Buku-buku sastra karangan tokoh-tokoh sufi. Seperti; Rabi’ah Al-Adawiyah “Mahabbah Illahi”, Syeikh Jalalluddin Ar-Rumi “Dawai-Dawai Cinta”, Syeikh Nizami “Laila Majnun”. Tidak hanya tokoh sufi, buku sastra lainnya seperti Kahlil Gibran yang berjudul Sayap-Sayap Patah, Sang Nabi, Pasir dan Buih dan sebagainya menjadi sajian hangat penambah ilmu. Ia teringat ungkapan dari Imam Ali Bin Abi Thalib Alaihi Salam; “otak layaknya tubuh yang membutuhkan makananan, bila otak tidak diberi ilmu dan hikmah selama tiga hari maka akan mati”. Baginya membaca menjadi kewajiban untuk memberi makanan pada otaknya berupa ilmu dan hikmah. Kata-kata dan gaya bahasa yang tersaji dalam buku-buku sastra, menurutnya memiliki karakter dan cara penyampaiannya yang indah, penuh penjiwaan dan bahasanya yang seolah bernyawa, membuat kalimatnya seolah hidup. Tentu saja bacaannya itu sama sekali tidak sejalan dengan bidang disiplin ilmu yang ia tekuni saat di kampusnya dulu, sama sekali tidak sejalan, nyerempetpun enggak !!!.

Sementara dunia tulis-menulis termasuk salah satu kegemarannya, ia menulis novel dan artikel serta cerpen untuk mengekspresikan semua imajinasi kreatif yang ada diotaknya, menurutnya dunia tulis-menulis itu merupakan bentuk “tasyakur bi nikmat” atas rasa syukur dari nikmatul hayat dan nikmatul aqli, itulah yang membuat manusia istimewa dari mahluk lainnya karena adanya akal. Akal inilah yang menjadi faktor pendorong dibelakang otak yang menjadikan otak itu bisa berfikir kreatif dan ilmiah, otak bersifat biologis, sementara akal bersifat spiritual. Baginya itu adalah anugrah terbesar yang diberikan Allah pada manusia untuk mampu berfikir sistemik dan mengembangkan potensi kreatif, jadi inilah ruang yang produktif untuk membangun kecerdasan ilmiah, karena baginya tidak layak memarjinalkan otak dalam ruang yang tak produktif.

Tanpa terasa dua setengah jam telah berlalu, ia habiskan dalam keriyuhan pawai motor, suara deru mesin ditambah asap kendaraan tidak menjadi halangan untuk menghabiskan waktu dalam kesenangan fitri. Tapi rasanya ia harus segera mengakhirinya karena waktu telah menunjukan pukul 22.52 malam. Ia meminggirkan motornya dibahu jalan untuk sejenak beristirahat mengambil nafas panjang. Tak lama berselang gerimis pekat turun membasahi tanah kota Cianjur, menghalau debu yang berhempas bersama tiupan angin saat pawai berlangsung, suara gemercik air hujan ketika menghentak atap genting bangunan ruko menambah nuansa semarak malam itu.

Rif’at terlihat lelah-sayu, sinar dimatanya menyiratkan rasa kantuk sedang diberlakukan padanya, tapi ia masih enggan untuk pulang ke rumah, karena malam ini adalah malam free night buat dirinya, suasana suntuk dirumah kian terasa karena ia tak sebebas merpati. Batasan waktu rumah yang diberlakukan padanya membuat ia tak dapat berekspresi dalam ruang kebebasannya untuk sekedar menikmati suasana malam, orang tuanya memberi batasan sampai jam 20.00 wib, paling telat jam 21.00 wib.

Batas kebebasan yang ia miliki, tidak terikat masalah waktu tapi berlaku juga terhadap perasaan hatinya. Sebagai manusia yang punya cinta, tentu saja ia berhak menentukan sebentuk hati yang menjadi pilihan hatinya. Tapi itu menjadi kian sulit, bahkan mengalami dilema besar saat ia menemukan cinta yang tak kunjung berakhir bahagia, perasaan yang selalu terkorbankan oleh kondisi hipokrit membuatnya merasa terpuruk dalam ruang dilema yang sulit dan kaku untuk bernafas, ruang itu hanya menyisakan sedikit pasokan udara yang membuatnya lemah dan seolah mati rasa dari cinta dan perasaan yang tak sesuai logika.

Kisah cinta yang terlukis dalam balutan asmara buyar sekejap mata, saat ia mendapati klaim penghakiman dari ibunya. Perasaannya yang telah hancur berkeping-keping membuat ia menghentikan langkah untuk mendapati cinta yang sesuai hatinya, kini ia fatalistic tak penuh harap untuk menjemput cinta sejatinya. Ia hanya mampu melamunkan angannya itu sendiri ditengah guyuran hujan yang membasahi tubuhnya.

***
Hingga keesokan harinya, saat ia menunaikan shalat idul fitri, ia berusaha tampil sempurna dalam kondisi yang tak utuh, hatinya tertindas telah cukup lama membuatnya terkadang ingin berhenti berjalan untuk menemukan sebentuk cinta lagi, ia berharap mendapat cinta sejati tapi lagi dan lagi ia harus terpatahkan karena selalu berpijak pada kondisi hipokrit dilema besar, ia merasa hatinya terhenti ditengah jalan yang entah kemana tujuannya, fikirannya kosong, wajahnya mengekspresikan kegalauan yang jauh lebih dalam dari sebelumnya, tak ada yang tersisa darinya selain kosong dan memendam tangisan bathinnya sendiri.

Diatas sajadah yang digelar saat menunaikan idul fitri, ia diam membisu seribu bahasa, hingga moment halal bi halal selesai, ia hanya menyudutkan diri di kamarnya. Akan tetapi sebagai anak, ia masih memiliki moral dan kebijaksaan untuk selalu hormat pada kedua orang tuanya, terlebih untuk ibunya sendiri. Ia memahami hadits Rosululllah Saw yang menyebutkan ibumu, ibumu, ibumu kemudian ayahmu, disebut tiga kali pertanda anjuran penghormatan yang luar biasa sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits. Ia segera keluar kamar menghampiri kedua orang tuanya terlebih ibunya, walau sesakit apapun hatinya tapi ia tetap menjaga hati ibunya walaupun dirinya sendiri hancur berkeping-keping perasaannya.

Rif’at menyodorkan tangannya kemudian mencium tangan ibunya, memohon permintaan maaf terdalam, ia mencoba melepaskan ego dan tak melihat siapa yang salah atau benar, terpenting baginya –adalah seorang anak tetap harus menjadi orang pertama yang meminta maaf lahir dan bathin pada kedua orang tuanya. Ia berusaha tampil tegar walaupun didalam belum tentu mengambarkan bias sinar diwajahnya, ia tidak mau larut dalam kegelisahannya ia selalu berdoa agar Allah Swt mengubah haluan hidupnya dan membuat terbuka mata dan hati ibunya. Kondisi apapun yang ia terima, ia tetap mendoakan yang terbaik dan terindah, getar bibirnya saat melantunkan doa untuk kedua orang tuanya tak pernah terkontaminasi oleh keburukan apapun, ia selalu melantunkan ketulusan hati dan kebaikan ucap dalam setiap kalam doanya.


BAGI SAHABAT PEMBACA NOVEL SILAHKAN BELI NOVELNYA DI TOKO BUKU TERDEKAT ATAU TOKO GRAMEDIA, TERDIRI DARI 12 BAB, DIJAMIN SERU.